Para pecinta kesucian jiwa itu, mensucikan jiwanya itu dan semua penyakit yang bersangkutan dengan jiwa yang be pengaruh terhadap kesucian jasmaninya, yaitu :
1. Sifat Amarah/ brutal yang memiliki pendukungnya :
a. Al-Bukhlu (kikir/ pelit)
b. Al-Hirshu (serakah)
c. Al-Amalu (berangan-angan, mengharapkan yang tida sesuai dengan kemampuan)
d. Al-Kibru (sombong)
e. Aoy-Syuhtu (ingin populer)
f. Al-Hasadu ( iri, dengki)
g. Al-Ghoflatu (lupa kepada Alloh)
2. Sifat Lawamah / tercela yang didukung oleh:
a. Al-Lawm (celaan)
b. Al-Fikru (pikiran)
c. Al-Qobdlu (menggenggam/ ngeupeul -bahasa sunda-)
d. Al-Ujbu (bangga diri)
e. Al-I'tirodlu (membantah melawan kebenaran)
Penyakit-penyakit itu bila dibiarkan, pasti akan membahayakan siapa saja yang dikuasai olehnya. Sehingga tidak mustahil matinya dalam keadaan Su'ul khotimah. Tuan Guru Agun; Syaikh Ahmad Shohibul-wafa Tajul 'Arifin bersabda :
"Ketahuilah bahwasannya setiap orang yang tidak mau mengambil Guru Ruh baginya yang akan memberi petunjuk agar keluar dari cengkraman sifat-sifat ini, maka dia berdosa kepada Alloh dan Rosul-Nya, karena tidak akan ada petunjuk jalan untuk menyembuhkannya, walaupun merasa tanggung jawab, tidak akan mampu tanpa Guru Ruh yang tahu akan penyakit-penyakit seperti itu dan mampu pula mengobatinya, sekalipun hapal seribu judul kitab di otaknya." (kitab Miftahus-shudur, hal. 20 ) Dalam kitab Tanwirul Qulub , ath-Thibri menegaskan:
"Tidak sepantasnya bagi seorang alim walaupun pengetahuannya sedalam lautan/ nyagara (tabahur) sehingga mencapa pangkat hanya seorang pada masanya, merasa cukup dengan ilmu yang telah ia miliki. Sesungguhnya ia masih mempunyai kewajiban untuk bergabung degan ahli thoriqot, agar ahli thoriqot itu menunjukkan ia ke jalan yang lurus." (TanwiruI Qulub, hal. 404-405)
Oleh karena itulah maka Imam as-Syafi'i dan Ahmad bin Hanbali mondar-mandir ke majelis ash-Shufiyah serta mereka berdua selalu hadir pada majelis dzikir mereka, sehingga ada yang bertanya, "Mengapa tuan-tuan bolak-balik kepada oran orang bodoh seperti itu?", mereka menjawab, "Sesungguhnya pada diri mereka (ahli tashawuf) itu ada pokok urusan. secara keseluruhan, yaitu taqwalloh 'azza wa jalla dan mahabbah kepada-Nya serta ma'rifat kepadaNya." (Kitab Tanwir al-Qulub, hal, 406-406)
Sebelumnya memang, Imam Ahmad bin Hanbal ra berkata kepada anaknya yang bernama Abdulloh, "Wahai anakku, perhatikan al-hadits dan hati-hati bergaul dengan mereka yang menamakan dirinya. Shufiyah, karena ada kalanya salah seorang dari mereka itu bodoh kepada hukum-hukum agamanya." Namun ketika beliau berteman dengan Abu Hamzah al-Baghdadiy dan mengetahui gerak-gerik ahli tashawuf, akhirnya Imam Ahmad bin Hanbali berkata kepada anaknya, "Anakku, kamu wajib bermujalasah/ bergaul bersama mereka, karena sesungguhnya mereka pasti menambah banyak ilmu, murogobah, takut dan mampu melepaskan dunia halal berlebihan, dunia yang haram walaupun sedikit serta tinggi cita-cita."
Sehingga nama as-Syafi'i setelah bergaul dengan ahli tashawuf berpendapat, "Ahli fiqih itu perlu mengetahui istilah/ arti yang istimewa yang digunakan oleh ahli tashawuf agar mengambil manfaatnya dari ilmu mereka yang tidak ada pada ahli fiqih. ( al-Qulub, hal. 405) Yang disebut ahli tashawuf itu bukan yang berjanggut panjang, yang wudlunya membasahi dua handuk, yang gamisnya seragam, yang alas kakinya tinggi karena takut kena percikan air yang memencilkan diri, yang compang-camping, yang bersajak dan berpuisi dalam berbicaranya, yang berjalannya sambil nunduk selalu. Tapi yang dikatakan ahli tashawuf itu sebagaimana sabda Tuan Guru Agung Syaikh Ahmad Sohibul wafa Tajul 'Arifin ra di dalam kitab tukilannya :
"Tidak dikatakan ahli tashawuf, kecuali karena membersihkan dirinya/ batinnya dengan nur tauhid dan ma'rifat ahli tashawuf yang benar itu ialah yang bersih hatinya dari selain tuhannya." (Kitab Miftah ash-Shudur, juz tsani, hal. 26)
0 Komentar