Tadi malam, selepas mengucap salam pada roka'at terakhir Sholat Sunnah Nishfu Sya'ban di Mesjid Baitu Sirri, Pangersa Guru Agung tampak tidak memanjatkan doa'. Pangersa meminta kepada seluruh ma'mum untuk ikut melakukan Sujud Syukur. Cukup lama kami semua dalam simpuh sujud. Apa makna rahasia-nya?
Tidak ada kewajiban bagi murid untuk mengetahui alasan/dalil di balik perbuatan Guru. Tugas murid ikut saja, bahkan, riyadhoh salik thoriqoh itu --setinggi apapun titel akademik, kedudukan politik, atau kemampuan ekonominya-- tidak tergoda untuk bertanya alasan/dalil atas apa yang diperintahkan/dikerjakan Guru, atas apa yang dilarang/tidak dikerjakan Guru.
Guru adalah dalil itu sendiri. Perbuatan Guru adalah perbuatan Gurunya, perbuatan Gurunya, perbuatan Kanjeng Nabi Muhammad Shollallohu 'alaihi wasallam.
Sujud Syukur itu hukumnya wajib, tegas Guru Agung. Tak ada keraguan dan tak ada yang bisa menyanggah fatwa bahwa sujud syukur itu hukumnya wajib. Wajib syukur atas apapun anugerah kehidupan yang kita jalani dan terima. Semua dari-Nya, semua dalam pengaturan, serta ketetapan-Nya.
Memanjatkan doa' setalah purna Sholat Nishfu Sya'ban termasuk salah satu saat-saat mustajab doa'. Lalu kenapa Guru Agung memilih tersungkur sujud Syukur? Selain seorang Syeikh itu seorang Syaakir wal Masykur Alloh(*, bersimpuh sujud Syukur artinya sikap jiwa mensyukuri dengan menerima apa yang ada, apa telah Alloh anugerahkan. Hanya dengan sikap jiwa demikian, Alloh anugerahkan apa yang belum ada, apa yang tidak ada.
Sujud Syukur ba'da Sholat Nishfu Sya'ban, merupakan tanda Syukur Guru Agung atas anugerah mega-berkah bulan Sya'ban. Bersyukur telah memimpin para Ikhwan untuk menunaikan limpahan berkah Sholat Nishfu Sya'ban. Semoga kita dipanjangkan usia sampai Bulan Romadhon, untuk menyambut berkah Sholat Tarowih 600 rokaat bersama Guru Agung, al-Faatihah. AAMIIN.
Salam Khidmah,
Pembantu Khusus ABAH AOS,
Abah Jagat
*) orang yang putus-putus bersyukur kepada Alloh, sekaligus, merupakn orang-orang yang kehadirannya di muka bumi disyukuri Alloh.
April 20, 2019.
KH. Budi Rahman Hakim.
0 Komentar