Pemburu dunia tak ubahnya peminum air laut. Semakin banyak minum,
makin tambah haus. Ia pun terus minum sampai binasa. Namun demikian, ia
tetap tak terpuaskan.—Nabi Isa as.
Alkisah, pada zaman Nabi Isa as. terdapat tiga pemuda sholeh tengah
berjalan kaki menyusuri gurun. Ketiganya sepakat untuk sama-sama
menuntut ilmu di sebuah negeri sebrang nun jauh. Namun, saat tiba di
tengah perjalanan, mereka menemukan timbunan harta yang melimpah.
Alhasil, mereka pun memutuskan untuk istirahat sebentar sembari mencari
makan.
Ketiga pemuda itu kemudian sepakat bahwa mereka harus rela berbagi
tugas. Salah satu di antara mereka pergi mencari makan. Sementara dua
orang lainnya bertugas menjaga harta istimewa itu guna menghindari
adanya pencuri atau orang yang mengaku-ngaku atas kepemilikan harta
tersebut. Hal ini dikarenakan nilai harta itu dinilai lebih tinggi
ketimbang makanan yang akan mereka santap, sehingga penjagaan ekstra pun
harus dilakukan.
Akhirnya, dia yang ditunjuk mencari makanan, bergegas pergi
meninggalkan kedua sahabatnya. Di tengah perjalanan, terlintas di
benaknya untuk menguasai seluruh harta temuan itu. Sang pemuda pun
mencari cara agar bisa melenyapkan keduanya. Dan, dipilihlah racun untuk
dicampur dengan makanan yang akan diberikan kepada mereka.
Ternyata, niat jahat bukan hanya terlintas dalam benak sang pemuda
yang diutus mencari makan saja. Kedua rekannya yang lain juga telah
sepakat untuk menghabisinya sekembali ia mencari makan. Tentu saja,
mereka berharap agar kekayaan itu hanya dibagi dua saja.
Setelah pemuda yang membeli makanan itu sampai ke tempat semula,
kedua rekannya langsung menerkam dan membunuhnya. Tak ada sesal, tak ada
rasa bersalah. Bahkan, keduanya tersenyum simpul, lega. Dan, karena
sangat lapar, mereka pun tak sempat berpikir lain kecuali menyantap
makanan yang diperoleh temannya itu—yang juga telah dibubuhi racun.
Ya, apa hendak dikata, berkat keserakahan dan cinta dunia yang
berlebih, nasib ketiganya pun sama-sama berujung maut. Ketiganya
sama-sama tidak sempat merasakan sedikit pun nikmat atas limpahan harta
yang Allah karuniakan kepada mereka. Ketiganya sama-sama tertipu oleh
fatamorgana dunia.
—–
Begitulah dunia. Banyak orang yang tertipu karena keindahannya,
hingga melupakan arti penting dari kehadiran dunia itu sendiri—yang
notabenenya hanya sebagai sarana, bukan tujuan.
Karena keserakahan, dunia yang seharusnya bisa mendatangkan
kenikmatan, justru berlaku sebaliknya—yang bahkan bisa merugikan diri
sendiri, hingga mendatangkan kematian.
Konon, Nabi Isa as. bersama para pengikutnya yang setia (Al
Hawariyyun) sempat berkunjung ke tempat terjadinya peristiwa itu. Beliau
pun berkata, “Lihat, inilah dunia. Bagaimana ia telah membunuh tiga
orang yang awalnya berniat suci (menuntut ilmu), namun terperosok oleh
fatamorgana dunia,” ujarnya.
“Setelah mereka, tentu akan ada banyak lagi korban-korban yang
berguguran karena memburu dan mencintai dunia. Hati mereka terbutakan
oleh dunia, hingga melupakan tujuan utamanya dihadirkan ke dunia (untuk
mengabdi pada Allah Swt.),”
“Pemburu dunia tak ubahnya peminum air laut. Semakin banyak minum,
makin tambah haus. Ia pun terus minum sampai binasa. Namun demikian, ia
tetap tak terpuaskan,” lanjut Isa as.
Ya, dunia. Sedari dulu, bahkan Rasul Saw. mewanti-wanti umatnya untuk tidak ngoyo pada
dunia, yang bisa mengakibatkannya rugi dunia, bahkan akhirat.
Perhatikan, betapa banyak orang yang awalnya dikenal sebagai orang baik,
sholeh, pemurah, namun ketika dihadapkan dunia justru malah semakin
lupa.
Dalam hal ini, beliau bersabda, “Sebagaimana penyelam laut, ia tidak
dapat terhindar dari basah, maka pemburu dunia juga tidak akan terlepas
atau terhindar dari kotoran.”
Begitulah Rasul Saw. mengumpamakan dunia dengan kotoran. Nasihat ini
bukan berarti kita tidak boleh mencari dunia, namun nasihat ini hadir
untuk mengingatkan umatnya agar waspada terhadap titipan yang Allah
karuniakan kepada kita (hamba). Bukan malah berlaku zalim, dengan
mengejar dan menguasai dunia, hingga melupakan kewajiban kita untuk
saling berbagi dalam kebaikan. [LS]
Kisah ini diolah dari buku berjudul “Nasihat Al Ghazali bagi Penguasa”.
Dari: islamindonesia.id
0 Komentar