Beberapa Ajaran
Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah
Oleh; Kharisudin Aqib al-Faqir
Sebagai suatu madzhab dalam tasawuf,
Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah memiliki beberapa ajaran yang
diyakini kebenarannya, terutama dalam kehidupan kesufian. Beberapa
ajaran yang merupakan pandangan para pengikut tarekat ini bertalian
dengan thariqah (metode) untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt. Dengan cara yang diyakini paling efektif dan efisien. Pada umumnya thariqah (metode) dalam suluk yang menjadi ajaran dalam tarekat ini didasarkan pada Al-Quran, al-Hadits dan perkataan para ulama’ al-arifin dari kalangan salaf al-shalihin[1].
Pandangan-pandangan tersebut juga tidak jarang dikuatkan dengan landasan
filosofis, bahkan ada juga teori-teori filsafat yang dijadikan dasar
untuk menguatkan pandangan dalam ajaran-ajarannya. Seperti teori-teori
filsafat jiwa (akan dibahas secara khusus pada bab IV). Karena itulah
maka ajaran-ajaran itu kemudian mengikat para pengikut tarekat ini dalam
suatu pola pikir, sikap mental dan amal perbuatan yang sama.
Setidaknya ada empat ajaran pokok dalam tarekat ini, yaitu tentang kesempurnaan suluk, adab para murid, dzikir, dan muraqabah. [2]
Keempat ajaran inilah pembentuk citra diri yang paling dominan dalam
kehidupan para pengikut Tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah.
Ajaran-ajaran tersebut juga membentuk identitas diri yang membedakan
antara pengikut tarekat dengan yang lain, khususnya ajaran-ajaran yang
bersifat teknis, seperti tata cara berdzikir, muraqabah dan
bentuk-bentuk upacara ritualnya. Keempat ajaran pokok tersebut memiliki
tujuan yang satu yaitu mencari kerelaan (ridla) Allah. Berikut ini adalah penjelasan dari keempat ajaran tersebut.
1. Kesempurnaan Suluk
Ajaran yang sangat ditekankan dalam
ajaran Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah (TQN) adalah suatu keyakinan
bahwa kesempurnaan suluk ( merambah jalan kesufian, dalam rangka
mendekatkan diri kepada Allah ), adalah harus berada dalam tiga dimensi
keislaman; yaitu; Islam, iman, dan ihsan. Akan tetapi ketiga term
tersebut biasanya dikemas dalam suatu istilah tasawuf yang sangat
populer dengan istilah syari’at, tarekat dan hakikat[3].
Syari’at adalah dimensi perundang-undangan dalam Islam. Ia adalah ketentuan yang telah ditetapkan oleh al - syari’
( Allah ) melalui rasul-Nya Muhammad Saw. Baik yang berupa perintah
maupun larangan. Tarekat merupakan dimensi pengamalan syari’at tersebut.
Sedangkan hakikatnya adalah dimensi penghayatan dalam pengalaman
tarekat tersebut[4]. Dengan penghayatan atas pengalaman syari’at itulah maka seseorang akan mendapatkan manisnya iman yang disebut dengan ma’rifat.
Syari’at juga bisa berarti segala
perbuatan lahiriah yang mesti dilaksanakan oleh seorang hamba. Sebagai
realisasi dari pernyataan “ iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in “.
Di dalam syari’at itulah hakikat akan ditemukan dengan pertolongan
Allah, dan pertolongan Allah itu akan datang jika amal perbuatan
dilaksanakan dengan kepasrahan diri yang tulus (tawakkal) kepada-Nya[5].
Para mursyid Tarekat ini biasanya
menggunakan penggambaran hakikat suluk adalah sebagai upaya mencari
mutiara. Sedangkan mutiara itu hanya ada ditengah samudera yang sangat
dalam. Sehingga ketiga hal itu (syari’at, tariqat dan hakikat) menjadi
mutlak penting karena ketiganya berada dalam satu sistem. Syari’at
digambarkan sebagai bahtera atau kapal yang berfungsi sebagai alat untuk
dapat samapai tujuan. Tarekat sebagai samudera yang sangat luas, dan
merupakan tempat adanya mutiara. Sedangkan hakikat tidak lain adalah
mutiara yang dicari-cari itu. Sedangkan mutiara yang dicari oleh para salik dan sufi tiada lain adalah mengenal Tuhannnya ( ma’rifat billah)[6].
Jadi dalam tarekat ini diajarkan, bahwa seorang salik (orang yang meniti jalan kesufian, dalam rangka mendapatkan ma’rifat billah), tidak mungkin dapat berhasil tanpa memegangi syari’at, melaksanakan tarekat dan menghayati hakikat. Seorang salik
tidak mungkin melepaskan ketiga dimensi keislaman itu. Ia tidak akan
mendapatkan ma’rifat kepada Allah, tanpa berada dalam syari’at dan masuk
dalam tarekat[7]. Sebagaimana mustahilnya orang yang mencari mutiara tanpa mau turun ke lautan dan menggunakan alat (kapal).
Dalam Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah
diajarkan, bahwa tarekat diamalkan justru harus dalam rangka menguatkan
syari’at. Karena bertarikat dengan mengabaikan syari’at, ibarat bermain
di luar sistem, tidak mungkin mendapatkan sesuatu darinya, kecuali
kesia-siaan. Pemahaman semacam ini biasa digambarkan dengan sebuah
lingkaran, itulah syari’at, dan jari-jari yang menghubungkan antara
lingkaran dengan porosnya adalah tarekat. Sedangkan titik poros, itulah
pusat pencarian, yaitu hakikat.[8]
Dari penggambaran atas pemahaman-pemahaman tersebut, dapat dikatakan, bahwa suluk adalah upaya, atau proses untuk mendapatkan ma’rifat kepada
Allah swt, dengan mendekatkan diri kepada-Nya, yang dilakukan dalam
sebuah sistem yang telah ditetapkan oleh Allah melalui rasul-Nya.
Pemahaman kesempurnaan suluk tersebut digambarkan sebagai berikut:
A
1. Lingkaran sistem (Syari’at)
2. Semua amal ibadah (Tarekat)
3. Tujuan ibadah (Hakekat) B
1. Kapal/alat (Syari’at)
2. Laut/tempat tujuan (Tarekat)
3. Mutiara/tujuan (Hakekat) C
1. Lingkaran sistem (syari’at)
2. Jari-jari/tatacara yang warid (tarekat)
3. Titik poros/tujuan (hakekat)
A. Gambaran atas pemahaman muslim sunni pada umumnya.
B. Gambaran atas pemahaman sufi sunni (salaf), pada umumnya.
C. Gambaran
atas pemahaman ahli tarekat sunni pada umumnya, termasuk di dalam
Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah. Yaitu cara mendekatkan diri kepada
Allah (suluk), yang teknisnya telah ada panduannya dan didapatkan
melalui seorang mursyid yang memiliki ketersambungan silsilah tarekat
tersebut sampai dengan Rasulullah Saw.
Analogi lain tentang ketiga istilah tasawuf
populer tersebut (Syari’at, tarekat, hakekat dan ma’rifat), adalah
sebagaimana tataran bidang keilmuan, ada tataran praktis, tataran
methodologis, teoritis, dan filosofis.Dengan bagan sebagai berikut;
Tataran Iman
|
Syari’at
|
Tarekat
|
Hakekat
|
Makrifat
|
Tataran Ilmu
|
Praktis
|
Methodologis
|
Teoritis
|
Filosofis
|
Ajaran tentang prinsip kesempurnaan suluk
merupakan ajaran yang menjadi tekanan utama pendiri Tarekat Qadiriyah,
yaitu Syekh Abd. Qadir al-Jailani (w.561 H.).[9] Hal ini dapat dimaklumi, karena ia adalah seorang sufi sunni dan sekaligus seorang ulama’ figh. Ia adalah faqih dalam mahzab Hambali. Inilah pemahaman prisip yang membedakan antara sufi sunni dan sufi bid’i.[10]
Menurut Nurcholis Madjid, tarekat-tarekat
yang ada sekarang ini merupakan suatu kelembagaan sufi populer yang
merupakan hasil dari usaha dan kerja keras para ulama’ sufi sunni,
seperti al-Ghazali, al-Qusyairi, al-Sya’rani, Ibn Taimiyyah, dan
lain-lain. Sehingga menurutnya, keberadaan tarekat-tarekat yang ada
sekarang ini sudah tidak perlu untuk terlalu dicurigai keabsahannya
secara syar’i.[11]
Walaupun sudah barang tentu, ada satu-dua, yang mengatasnamakan
tarekat, atau berperan sebagai tarekat tetapi tidak mengindahkan
syari’at. Itulah yang di dalam lingkungan Nahdatul Ulama’ (NU),
dikatakan sebagai tarekat yang tidak absah (Tarekat Ghairu Mu’tabarah).[12]
Di dalam lingkungan Nahdhatul Ulama’
terdapat jam’iyyah para pengamal Tarekat Mu’tabarah, yang berdiri pada
tahun 1957. Organisasi ini didirikan dengan maksud antara lain adalah
untuk memudahkan pengawasan terhadap kemungkinan munculnya
penyimpangan-penyimpangan dalam pengamalan suatu tarekat, dari ketentuan
syari’at Islam. Sehingga dapat dibedakan dengan lebih mudah, mana
pengamalan suatu tarekat yang menyimpang atau yang tidak, dari ketentuan
syari’at Islam. Sehingga dapat dibedakan dengan lebih mudah, mana yang mu’tabarah (absah), dan yang ghairu mu’tabarah (batil).[13]
Menurut penelitian KH. Wahab Hasbullah (tokoh pendiri NU), di dunia
Islam sekarang ada 44 tarekat mu’tabarah termasuk di dalamnya Tarekat
Qadiriyah dan Tarekat Naqsyabandiyah.[14]
2. Adab para murid
Kitab yang sangat populer di kalangan
sunni, dan menjadi rujukan bagi sebagian besar tarekat yang ada
(termasuk Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah) adalah Tanwir al-Qulub fi Mu’ammalati ‘allam al-Ghuyub, karya Muhammad Amin al-Kurdi dan kitab al-Anwar al-Qudsiyah, karya
seorang sufi yang terkenal, Syekh Abd. Wahhab al-Sya’rani, di samping
kitab karya pendiri Tarekat Qadiriyah sendiri (Syekh Abd. Qadir
al-Jailani ), yang berjudul al-Ghunyah li Thalibi Thariq al-Haq.
Di dalam ketiga kitab tersebut, diuraikan
panjang lebar tentang adab bagi para murid (orang-orang yang
menghendaki “bertemu” Tuhan). Secara garis besar, seorang murid (salik)
ataupun ahli tarekat, harus menjaga empat adab, yaitu adab kepada
Allah, kepada Syekh (mursyid dan guru), kepada ikhwan dan adab kepada
diri sendiri.
a. Adab kepada Allah
Seorang murid harus senantiasa menjaga
adab lahir dan batin dengan sebaik-baiknya. Demikian juga adabnya kepada
Allah. Dan di antara adab seorang murid kepada Allah swt, adalah
mensyukuri semua karunia dan pemberian Allah atas dirinya dalam setiap
waktu dan kesempatan, serta senantiasa menjaga kesadaran untuk bersyukur
dan tidak melupakannya.[15]
Juga termasuk adab seorang murid kepada
Tuhannya adalah tidak bersembunyi dari seorang, kecuali karena hikmah,
buka karena kikir, dan bakhil. Berusaha mengeluarkan kecenderungannya
kepada selain Allah dari dalam hati. Mengutamakan kepentingan saudaranya
sesama muslim dengan apa yang dimilikinya. Menjauhi sesuatu yang
diagungkan (diperebutkan) oleh kebanyakan manusia, termasuk di dalamnya
adalah berbuat yang tidak jelas hukumnya.[16]
b. Adab Kepada Mursyidnya
Adab kepada mursyid (syekh), merupakan ajaran yang sangat prinsip dalam tarekat, bahkan merupakan syarat dalam riyadlah seorang
murid. Adab atau etika antara murid dengan mursyidnya diatur sedemikian
rupa, sehingga menyerupai adab para sahabat dengan Nabi Muhammad saw.
Hal yang sedemikian ini karena diyakini bahwa hubungan (mu’asyarah) antara murid dan mursyid adalah melestarikan tradisi (sunnah) yang terjadi pada masa Nabi.[17] Dan kedudukan murid menempati peran sahabat, dan mursyid menggantikan peran nabi, dalam hal bimbingan (irsyad) dan pengajaran (ta’lim).
Diyakini oleh para ahli tarekat, bahwa ada tiga hal yang dapat menghantarkan seseorang dapat sampai kepada Allah (wushul) dalam arti ma’rifat. Yaitu dzikir sirri atau dzikir dalam hati (dzikir khafi), kontemplasi ( muraqabah) dan senantiasa hadir, rabithah dan khidmad kepada mursyidnya.[18] Adab kepada mursyid ini tersimpul dalam rasa cinta seorang murid kepada mursyidnya, dengan sebenar-benarnya cinta.[19]
Di antara kitab pegangan murid Tarekat
Qadriyah wa Naqyabandiyah ada yang menyebutkan secara rinci tentang adab
seorang murid kepada syekhnya. Adab tersebut dirumuskan secara
terperinci dalam sepuluh point, yaitu :
1). Seorang
murid harus memiliki keyakinan, bahwa maksud dan tujuan suluknya tidak
mungkin berhasil tanpa perantaraan gurunya. Karena jika seorang murid
merasa bimbang dan ingin berpindah kepada guru lain, maka hal tersebut
menjadi sebabnya hirman (terhijab) oleh nur gurunya tersebut, yang menghalangi sampainya pancaran berkah (al-fayd al-rahmani). Hal ini bisa tidak terjadi kalau kepindahan murid kepada guru yang lain itu atas izin yang Jelas (sharih)
dari gurunya yang semula. Atau jika guru yang pertama ternyata syari’at
atau tarekatnya batal, dalam arti tidak cocok dengan syari’atnya
Rasulullah. Jika keadaannya memang demikian, maka seorang murid harus
pindah kapada guru mursyid yang lebih sempurna dan lebih zuhud, lebih wara’
dan lebih luas ilmu syari’at dan tarekatnya. Di samping itu harus
dicari yang lebih selamat hatinya dari sifat tercela. Lagi pula ia
memang seorang mursyid yang mendapat izin (bai’at) sebagai mursyid dari mursyid sebelumnya.
2). Seorang murid harus pasrah, menurut dan mengikuti bimbingan guru dengan rela hati. Ia juga harus melayani (khidmat) guru dengan rasa senang, rela dan lkhlas hatinya hanya karena Allah. Karena jauhar-nya iradah (kehendak) dan mahabbah (kecintaan) itu tidak dapat jelas kecuali menurut, patuh dan khidmat (mengabdi).
3). Jika seorang murid berbeda paham (pendapat) dengan guru, baik dalam masalah kuliyyah (Universal) maupun juz’iyyah (sektoral) , masalah ibadah maupun adat, maka murid harus mutlak mengalah dan menuruti pendapat gurunya karena menentang (i’tiradl) guru itu menghalangi berkah dan menjadi sebab akhir hayat yang tidak baik (su’ul khatimah). Na’udzu billah min dzalik. Kecuali jika guru memberikan kelonggaran kepada murid untuk menentukan pilihannya sendiri.
4). Murid harus berlari dari semua hal yang dibenci gurunya dan turut membenci apa yang dibenci gurunya.
5). Jangan tergesa-gesa memberikan atau mengambil kesimpulan (ta’bir)
atas masalah-masalah seperti: impian, dan isyarat-isyarat, walaupun ia
lebih ahli dari gurunya dalam hal itu. Akan tetapi sampaikan hal itu
kepada guru dan jangan meminta jawaban. Tunggu saja jawabannya pada
waktu yang lain dan kalau tidak dijawab maka diamlah. Yakinlah diamnya
guru karena ada hikmah. Dan apabila murid ditanya guru, atau
diperintahkan menerangkan sesuatu, maka ia harus menjawab seperlunya.
6). Merendahkan
suara di majelis gurunya dan jangan memperbanyak bicara dan tanya jawab
dengan gurunya, karena semua itu akan menjadi sebabnya mahjub (tertutup hatinya).
7). Kalau
berniat menghadap guru jangan sekonyong-konyong, atau tidak tahu waktu.
Jangan menghadap guru dalam waktu sibuk, atau dalam waktu istirahat.
Dan kalau sudah menghadap, jangan bicara sesuatu kecuali yang
menyenangkan hati guru serta harus tetap menjaga kesopanan (khudlu’ dan tawadlu’),
jangan memandang ke atas, melihat kanan-kiri, atau bicara dengan teman.
Tetapi menghadaplah dengan penuh perhatian terhadap perkataan guru.
Karena jeleknya tatakrama (su’ul adab) kepada guru bisa menjadikan tertutup (hirman) dari pencerahan (futuh).
Dan jangan lama-lama berhadap-hadapan dengan guru tetapi sekedar
perlunya kemudian segera memohon diri, kecuali jika dicegah oleh guru,
maka juga harus menurut.
8). Jangan menyembunyikan rahasia di hadapan guru, tentang kata hati, impian, kasyaf (pandangan indra ke enam) maupun keluarbiasaan (karamah)-nya. Katakanlah dengan terus terang.
9). Murid
tidak boleh menukil pernyataan guru kepada orang lain, kecuali sekedar
yang dapat dipahami oleh orang yang diajak bicara. Dan itupun
perkataan-perkataan yang diizinkan untuk disebar luaskan.
10). Jangan
menggunjing, mengolok-olok, mengumpat memelototi, mengkritik dan
menyebarluaskan aib guru kepada orang lain. Dan murid tidak boleh marah
ketika maksud dan tujuannya dihalangi oleh guru. Murid harus yakin, guru
meghalangi karena ada hikmah, dan bila diperintah guru harus berangkat
walaupun terasa berat menurut perhitungan nafsunya.
Apabila murid mempunyai keperluan dengan guru, jangan sekali-kali
berkirim surat, atau menyuruh orang lain. Tetapi datanglah dengan
menghadap sendiri, dan berkatalah yang menyenangkan guru. Dan jika murid
menghendaki kedatangan guru ditempatnya (murid), jangan sekali-kali
memaksa, tetapi mintalah kelonggarannya. Walaupun mungkin secara fisik
guru tidak dapat datang, yakinlah bahwa rohani guru, atau do’a restunya
bisa datang ke tempat murid.
Jangan sekali-kali murid berkata : “Pak
kiyai itu dulu guru saya, tetapi sekarang bukan, karena saya sekarang
tidak mengaji dan belajar kepadanya. “dan adalah bodoh kwadrat jika ada
seorang murid berkata: “Makanya saya berani dengan guru, karena memang
dia yang salah kepadaku.” Demikian juga kalau sedang mengikuti
majelisnya guru, janganlah sampai keluar atau pulang sebelum waktunya.
Tetapi jangan bikin gaduh (taswis) atau memperbanyak pertanyaan
kepada guru. Tetapi diam dan perhatikan semua perkataan guru, dan terima
isyarat-isyarat guru dengan hati yang ikhlas karena Allah. Dan hati
harus dipenuhi dengan rasa senang kepada guru beserta keluarganya.
Dan jika guru dipanggil oleh Allah
(wafat), maka sebaiknya jangan mengawini bekas isterinya. Akan tetapi
murid bisa mengawini anaknya, dengan niat khidmah. Dan anggaplah
putra-puri guru sebagai saudara sendiri (dalam hal hormat dan kasih
sayang). Karena sesungguhnya guru itu adalah bapak spiritual. Sedang
bapak sendiri adalah bapak jasmani.[20]
c. Adab kepada Sesama Ikhwan.
Prinsip-prinsip ajaran etika (adab), antara sesama ikhwan ini di antaranya disebutkan dalam kitab Tanwir al-Qulub. Dalam kitab ini disebutkan prinsip-prinsip adab yang diajarkan oleh Rasulullah kepada para sahabatnya,[21]
Prinsip-prinsip adab itu tersimpul pada penggambaran bentuk
persahabatan yang diajarkannya sebagaimana dalam dua hadits berikut ini :
مثل ا لأخوين مثل اليدين تغسل أحدهما الأخرى
Artinya :
“Perumpamaan dua orang yang bersaudara adalah sebagaimana dua tangan, ia
saling membersihkan antara satu dengan yang lainnya.” HR. Abu Na’im. [22]
َ الْمُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا وَشَبَّكَ بَيْنَ أَصَابِعِهِ *رواه البخارى
Artinya : “Seorang mukmin dengan mukmin yang lain,
bagaikan sebuah bangunan. Bagian yang satu dengan yang lain saling
menyangga.Dan (Rasulullah memberi isyarat) merapatkan jari-jarinya” HR. Bukhari.[23]
Secara garis besar Syekh Muhammad Amin al-Kurdi menyebutkan adab antara sesama ikhwan itu adalah sebagai berikut :
1. Hendaknya kamu menyenangkan mereka dengan sesuatu yang menyenangkan dirimu, dan jangan mengistimewakan dirimu sendiri.
2. Jika
bertemu mereka, hendaknya bersegera mengucapkan salam, mengulurkan
tangan (mengajak berjabat tangan), dan bermanis-manis kata dengan
mereka.
3. Mempergauli mereka dengan akhlak yang baik, yaitu memperlakukan mereka sebagaimana kamu suka diperlakukan.
4. Merendahkan diri kepada mereka.
5. Usahakan
agar mereka rela (suka), pandanglah bahwa mereka lebih baik dari
dirimu. Bertolong menolonglah dengan mereka dalam kebaktian, taqwa dan
cinta kepada Allah. Jika kamu lebih tua, bimbinglah mereka kepada
kebajikan. Dan jika kamu lebih muda, maka mintalah bimbingan kepada
mereka.
6. Berlemah lembutlah dalam menasehati ikhwan, jika kamu melihat mereka menyimpang dari kebenaran.
7. Perbaikilah
prasangkamu kepada mereka. Jika kamu melihat aib pada mereka katakan
pada diri anda sendiri : Jangan-jangan ini juga ada pada saya, karena
seorang muslim adalah cermin bagi muslim yang lain.
8. Jika ikhwan minta izin (keringanan), maka kabulkan.walaupun kau tahu bahwa ia adalah pembohong.
9. Jika
ada pertikaian antara sesama ikhwan, maka damaikanlah di antara
keduanya. Dan jangan memihak salah satu di antara keduanya. Tetapi
damaikanlah dengan penuh kelembutan dan persahabatan. Dan jangan
menyudutkan salah satunya.
10. Jadilah kamu teman dalam semua keadaan. Jangan sampai melupakan berdoa untuk mereka, agar diampuni oleh Allah.
11. Hendaknya kalian memberi tempat duduk kepada ikhwan dalam majlis.
12. Hendaknya membatasi berpaling dari mereka, dan mendukung mereka secara moral, karena kehormatannya adalah kewajiban kita.
13. Tunaikan janji, jika kamu berjanji. Karena janji itu di hadapan Allah adalah hutang, dan menyalahi janji termasuk nifaq. Dan inilah yang banyak merusak muslim banyak yang saling membenci dan saling tidak mempercayai.[24]
d. Adab kepada diri sendiri
Dalam menempuh jalan “menuju” Allah (suluk)
seseorang harus menjaga diri agar tetap beradab pada diri sendiri.
Abdul Wahhab al-Sya’rani menjelaskan secara pajang lebar tentang hal
ini.[25] yang secara garis besar menjelaskan bahwa seorang murid harus :
1. Memegangi
prinsip tingkah laku yang lebih sempurna, jangan sampai seorang
bertindak yang menjadikan dia tercela, dan mengecewakan. Lebih-lebih
bertindak yang menjadikan “cacat” kehoramatannya, dan menurunkan
derajatnya sendiri.
2. Untuk
maksud sebagaimana tersebut di poin 1, maka apabila mempunyai janji
hendaklah segera dipenuhi, apabila bergaul dengan yang lebih tua,
hendaklah senantiasa memberi penghormatan, terhadap yang lebih muda
harus mengasihi. Jika terpaksa terjerumus atau terjebak pada perkataan
dan, atau perbuatan yang tidak pantas maka segera menjauhinya.
3. Hendaklah
para murid bertingkah laku dan menerapkan adab (tatakrama), senantiasa
meyakinkan dirinya, bahwa Allah senantiasa mengetahui semua yang
diperbuat hamba-Nya, baik lahir maupun batin. Dengan demikian semua
murid akan senantiasa mengingat Allah dimana saja dan kapan saja, dan
dalam semua keadaan.
4. Para
murid hendaknya berusaha untuk bergaul dengan orang-orang yang baik
(shaleh), dan menjauhi orang-orang yang jelek akhlaknya. Karena
pergaulan akan memberikan pengaruh (kalau teman bergaul baik, akan
berpengaruh baik dan jika teman pergaulannya jelek juga akan mendapat
pengaruhnya.
5. Bagi
para murid juga tidak diperbolehkan untuk berlebih-lebihan dalam hal :
makan, minum, berbusana, dan berubungan seksual. Karena hal-hal
tersebut akan menjadikan kerasnya hati, dan lemahnya anggota badan untuk
beribadah (berbuat ketaatan), dan menjadikan telinga susah mendengarkan
nasehat.
6. Hendaknya bagi para murid senantiasa berpaling dari cinta duniawi, kepada mendambakan ketinggian derajat akhirat.
7. Jika
murid terbuai oleh hawa nafsu misalnya berat melaksanakan ketaatan maka
hendaknya senantiasa merayu dirinya sendiri, dan meyakinkan diri bahwa
payahnya hidup di dunia ini sangat pendek waktunya jika dibandingkan
dengan kepayahan di akhirat kelak jika di dunia tidak mau taat kepada
Allah.[26]
3. Dzikir
Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah (TQN) adalah termasuk tarekat dzikir.[27] Sebenarnya
menurut para ahli tarekat, bahwa tarekat sebagai sebuah metode untuk
mendekatkan diri kepada Allah adalah bentuk pengabdian yang khas bagi
seseorang, maka ia bisa bermacam-macam. Sedangkan jenis dan bentuknya
sesuai dengan keahlian dan kecenderungan masing-masing orang.[28]
Hanya saja yang dituntut dalam memegangi suatu tarekat (jenis amalan
dan pengabdian yang khas bagi seseorang) harus bersifat istiqamah,[29] karena hanya dengan istiqamah seseorang akan mendapat hasil dan karunia Allah secara memuaskan, sebagaimana firman Allah swt :
وَأَنْ لَوِ ا سْتَقَا مُوا عَلَى الطَّرِيقَةِ لَأَسْقَيْنَاهُمْ مَاءً غَد قًا
“Dan
bahwasanya jika mereka tetap berjalan lurus (konsisten) di atas jalan
itu (Agama Islam), benar-benar kami akan memberi minum kepada mereka
dengan air yang segar yang berlimpah-limpah (rezeki yang banyak)”. QS.
al-Jin (72) : 16:
Pemilihan pendiri Tarekat Qadiriyah dan para ahli tarekat pada umunya, untuk menjadikan dzikir sebagai tarekatnya adalah karena dzikir adalah
amalan yang sangat istimewa. Di dalam kitab-kitab pegangan ahli
tarekat, banyak dijelaskan tentang keistimewaan dzikir kepada Allah.
Baik yang berdasar pada firman Allah, hadits Nabi, perkataan para
sahabat, ‘ulama salaf, maupun pergaulan pribadi para ulama sufi.[30]
Di antara firman Allah yang mengisyaratkan tentang betapa pentingnya dzikir pada Allah itu misalnya
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اذْكُرُوا اللَّهَ ذِكْرًا كَثِيرًا
“Wahai orang-orang yang beriman berzikirlah kamu sekalian dengan menyebut nama Allah (dzikir) yang sebanyak-banyaknya”. QS. al-Ahzab (33) : 41.:[31]
Firman Allah :
إِنَّنِي أَنَا اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدْنِي وَأَقِمِ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي
“Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan selain Aku. Maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku”. QS. Thaha (20): 14:
Firman Allah :
الَّذِينَ ءَامَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ
“Yaitu orang-orang
yang beriman dan hati mereka tenteram dengan mengingat Allah, ingatlah
hanya dengan mengingat Allah hatimu menjadi tenteram”. QS. al-Ra’d (13) : 28
Dalam suatu tarekat, dzikir dilakukan secara terus menerus (istiqamah), hal ini juga dimaksudkan sebagai suatu latihan psikologis (riyadlat al-nafsi), agar seseorang dapat mengingat Allah pada setiap waktu dan kesempatan.[32] Seorang murid akan menjadi manusia sempurna dengan sebutan yang bermacam-macam. Ada yang menyebutnya sebagai orang yang musyahadah dan ihsan kepada Allah, atau seorang yang telah ‘arif bi Allah atau insan kamil. Sedangkan Al-quran menyebutnya dengan istilah ‘ulu al- albab. Kriteria figur ulu al-albab dapat dibaca di dalam surat Ali Imran ayat 191.
Tarekat dzikir atau amalan dzikir
dimasyarakatkan dan ditekankan pada zaman akhir (mulai abad XII-XIII M),
karena mulai pada saat itu fitnah dan gangguan duniawi terhadap umat
Islam begitu berat, sehingga jiwa mereka sangat rawan dan dalam bahaya.
Dan tarekat perlu dimasyarakatkan adalah dalam rangka terapi merebaknya
patologi sosial. Sedangkan pada masa-masa dahulu termasuk pada zaman
Nabi dan sahabat tidak begitu populer karena jiwa mereka masih bersih
dan tidak banyak fitnah yang menggoncangkan jiwanya, sebagaimana di
zaman akhir.[33]
Di antara hadits Nabi yang dijadikan
pegangan (untuk melakukan dzikir) para pengikut tarekat ini adalah
antara lain sabda Nabi :
أَلَا أُنَبِّئُكُمْ بِخَيْرِ أَعْمَالِكُمْ وَأَزْكَاهَا عِنْدَ مَلِيكِكُمْ وَأَرْفَعِهَا فِي دَ رَجَاتِكُمْ وَخَيْرٌ لَكُمْ مِنْ إِنْفَاقِ الذَّهَبِ وَالْوَرِقِ وَخَيْرٌ لَكُمْ مِنْ أَنْ تَلْقَوْا عَد ُوَّكُمْ فَتَضْرِبُوا أَعْنَاقَهُمْ وَيَضْرِبُوا أَعْنَا قَكُمْ قَا لُوا بَلَى قَا لَ ذ ِكْرُ اللَّهِ تَعَا لَى * رواه الترمذي كتاب الدعوات
“Maukah kalian (para
sahabat) kuberi tahu tentang sesuatu yang lebih bagus dari amal-amal
kalian semua, lebih bersih menurut Raja kalian (Allah), lebih tinggi
derajatnya padamu, lebih baik bagimu daripada infaq emas dan perak,
lebih baik dan bermanfaat bagimu daripada berperang melawan musuh,
sampai kalian memenggal leher mereka atau mereka memenggal leher
kalian!,. Para sahabat menjawab. “Tentu ya Rasulullah” Nabi bersabda :
“dzikir kepada Allah “azza wa jalla.,[34]
Sabda Nabi :
إن لكل شيئ صقالة وإن صقالة القلوب ذكر ا لله,وما من سيئ أنجى من عذاب الله من ذكر الله
“Sesungguhnya
bagi segala sesuatu itu ada pembersihnya, dan sesunguhnya pembersihnya
hati itu adalah dzikir kepada Allah dan tidak ada sesuatu yang lebih
menyelamatkan dari adzab kubur selain dzikir kepada Allah”. HR. Baihaqi.[35]
Sabda Nabi :
مَا مِنْ قَوْمٍ اجْتَمَعُوا يَذْكُرُونَ اللَّهَ لَا يُرِيدُونَ بِذَ لِكَ إِلَّا وَجْهَهُ إِلَّا نَادَاهُمْ مُنَادٍ مِنَ السَّمَاءِ أَنْ قُومُوا مَغْفُورًا لَكُمْ قَدْ بُدِّلَتْ سَيِّئَاتُكُمْ حَسَنَاتٍ *رواه أحمد في كتاب المكثرين
“Tidak ada segolongan manusia pun yang berkumpul dan melakukan dzikir
kepada Allah dengan tidak ada niat lain, selain untuk Allah
semata-mata. Kecuali nanti akan datang seruan dari langit “Bangkitlah
kamu semua, sudah diampuni dosa kalian, dan sudah ditukar kejelekan
kalian yang telah lalu dengan kebaikan”. H.R. Al-Thabrani.[36]
Yang dimaksud dengan dzikir dalam Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah, adalah aktifitas lidah (lisan) maupun hati (bathin) untuk menyebut dan mengingat asma Allah, baik berupa jumlah (kalimat), maupun ism dzat (Nama Allah). Dan penyebutan tersebut telah dibai’atkan atau ditalqinkan oleh seorang mursyid yang muttasil al-fayd (bersambung sanad dan berkahnya).[37] Dzikir dapat
dipelajari dan diamalkan bila bukan dari seorang syekh yang hidup dapat
dari Nabi Khidlir. Tetapi inisiasinya harus benar dan harus diturunkan
melalui serentetan pemimpin rohani yang dapat dikembalikan kepada
Rasulullah.[38]
Dalam ajaran Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah terdapat dua jenis dzikir yaitu dzikir nafi itsbat dan dzikir ism dzat. Dzikir nafi itsbat adalah dzikir kepada Allah dengan menyebut kalimat tahlil “la ilaha illa Allah”. Dzikir ini merupakan inti ajaran Tarekat Qadiriyah, yang dilakukan secara jahr (bersuara). Sedangkan dzikir ism dzat adalah dzikir kepada Allah dengan mengebut “Allah, Allah, Allah” secara sirr atau khafi (dalam hati). Dzikir ini juga disebut dengan dzikir lathaif dan merupakan ciri khas dalam Tarekat Naqsyabandiyah. Kedua jenis dzikir ini, (dzikir nafi itsbat dan dzikir ism dzat) dibai’atkan sekaligus oleh seorang mursyid pada bai’at yang pertama kali.[39]
Dzikir nafi itsbat ini pertama
kali dibai’atkan oleh Nabi kepada Ali bin Abi Thalib. Yaitu pada malam
hijrahnya Nabi Muhammad saw dari Mekkah ke kota Yasrib (Madinah). Di
saat Ali ibn Abi Thalib hendak menggantikan posisi tidurnya Nabi
(menempati tempat tidur dan memakai selimut Nabi). Sedangkan pada waktu
itu Nabi sudah dikepung oleh para pembunuh bayaran kafir Quraisy. Dengan
talqin dzikir inilah kemudian Ali ibn Abi Thalib
mempunyai keberanian dan tawakkal kepada Allah yang luar biasa. Ali
berani “menyamar” sebagai Nabi, sedangkan ia tahu persis bahwa Nabi
sedang terancam maut.[40]
Selanjutnya dzikir ini ditalqinkan oleh Ali ibn Abi Thalib kepada puteranya, yaitu Sayyidina Husein. Kemudian Husein ibn Ali mentalqinkan dzikir ini kepada puteranya, yaitu Ali Zainal Abidin. Dan seterusnya dzikir ini
ditalqinkan secara sambung menyambung kemudian sampai kepada Syekh
Abdul Qadir al-Jailani. Maka setelah metode dzikir ini diamalkan oleh
Syekh Abdul Qadir al-Jailani, orang-orang sesudahnya (para muridnya)
menyebutnya dengan Thariqah Qadiriyah atau dzikir Qadiriyah.[41]
Sedangkan dzikir ism dzat dibai’atkan
pertama kali oleh Nabi kepada Abu Bakar al-Siddiq, ketika sedang
menemani Nabi berada di Gua tsur, pada saat sedang berada dalam
perjalanan hijrah atau dalam persembunyian dari kejaran para pembunuh
kafir Qurays. Ketika sedang panik-paniknya dalam persembunyian Nabi
mengajarkan (men-talqinkan) dzikir ini dan sekaligus cara muraqabah ma’iyah (kontemplasi dengan pemusatan keyakinan bahwa Allah senantiasa menyertainya).[42]
Selanjutnya dzikir ism dzat
ini ditalqinkan kepada Salman al-Farisi, kemudian ia mentalqinkan
kepada Qasim ibn Abi Bakar. Kemudian terus diterima oleh imam Ja’far
al-Shadiq dan terus sambung menyambung sampai kemudian diterima oleh
Syekh Baha’uddin al-Naqsyabandi. Maka setelah tarekat dzikir ini diamalkan oleh syekh tersebut orang-orang menyebutnya dengan tarekat Naqsyabandiyah atau tarekat dzikir Naqsyabandiyah. [43]
Dalam Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah, diajarkan dzikir nafi itsbat, dan dzikir ism dzat secara bersama-sama, karena keduanya memiliki keistimewaan yang besar. Di samping itu kedua jenis dzikir tersebut bersifat saling melengkapi terutama dalam kaitannya dengan metode pembersihan jiwa (tazkiyat al-nafsi).[44] Di antara keistimewaan kedua dzikir tersebut sebagaimana dijelaskan dalam haditst-haditst berikut ini. Sabda Nabi :
من أكثر ذكر الله فقد برئ من النفاق
“Barang siapa banyak dzikirnya kepada Allah, maka ia terbebaskan dari penyakit nifaq”. H.R. Thabrani.[45]
Sabda Nabi :
أَفْضَلُ مَا قُلْتُ أَنَا وَالنَّبِيُّونَ مِنْ قَبْلِي لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ
“Kalimat yang paling utama yang aku katakan dan dikatakan oleh para nabi sebelumku adalah La ilaha illa Allah Mahdahu La Syarika lah”.[46]
Sabda Nabi :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّهُ قَالَ قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَنْ أَسْعَدُ النَّاسِ بِشَفَاعَتِكَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَقَدْ ظَنَنْتُ يَا أَبَا هُرَيْرَةَ أَنْ لَا يَسْأَلُنِي عَنْ هَذَا الْحَدِيثِ أَحَدٌ أَوَّلُ مِنْكَ لِمَا رَأَيْتُ مِنْ حِرْصِكَ عَلَى الْحَدِيثِ أَسْعَدُ النَّاسِ بِشَفَاعَتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَنْ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ خَالِصًا مِنْ قَلْبِهِ أَوْ نَفْسِهِ *
“Dari Abu Hurairah, ia berkata : “ Saya bertanya,
wahai Rasulullah, siapakah manusia yang paling bahagia menerima
syafa’atmu ?” Nabi menjawab : Wahai Abu Hurairah, sungguh aku mengira,
bahwa kaulah orang yang pertama kali menanyakan hal ini kepadaku. Karena
itu saya memahami keseriusanmu terhadap pembicaraan tentang orang yang
paling bahagia menerima syafa’atku pada hari kiamat, yaitu “Orang yang
mengucapkan La ilaha illa Allah dengan ikhlas dari dalam hati dan jiwanya.’ Al-Hadits.[47]
Sabda Nabi :
لَا تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى لَا يُقَالَ فِي الْأَرْضِ اللَّهُ اللَّهُ
‘Hari qiyamat tidak akan sampai terjadi di muka bumi ini, sampai tidak ada orang yang mengucapkan Allah, Allah.’HR. Muslim.[48]
Di dalam Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah ajaran dua jenis dzikir tersebut
dipraktekkan berlandaskan pada teori filsafat kejadian manusia,
filsafat jiwa, dan filsafat pendidikan yang ada dalam kedua ajaran
tarekat induknya (Tarekat Qadiriyah dan Tarekat Naqsyabandiyah) secara
terpadu.
Dzikir nafi itsbat dilaksanakan dengan jahr (bersuara) ataupun sirri (batin) dengan gerakan yang disesuaikan dengan tempat latifah-latifah yang ada. Demikian juga dengan dzikir ism dzat. Dilaksanakan berdasarkan prinsip lathifah dan letak jiwa-jiwa tertentu pada badan manusia.
4. Muraqabah
Secara lughawi, muraqabah berarti mengamat-amati atau menantikan sesuatu dengan penuh perhatian.[49]
Tetapi dalam istilah tasawuf term ini mempunyai arti : kesadaran
seorang hamba yang terus menerus atas pengawasan Tuhan terhadap semua
keadaannya.[50] Term ini tampaknya lebih dekat pengertiannya dengan istilah kontemplasi.
Muraqabah memiliki perbedaan dengan dzikir terutama pada obyek pemusatan kesadaran (konsentrasinya). Kalau dzikir memiliki obyek perhatian pada simbul yang berupa kata atau kalimat, sedangkan muraqabah menjaga kesadaran atas makna, sifat qudrat, dan iradat Allah. Demikian juga media yang dipergunakan juga memiliki perbedaan, dzikir menggunakan
lidah (baik lidah fisik maupun lidah batin), sedangkan muraqabah
menggunakan kesadaran murni yang berupa imajinaasi dan daya khayali.
Muraqabah dalam tarekat dilaksanakan sebagai ajaran pokok, karena Allah senantiasa memperhatikan hamba-Nya. Sebagaimana firman-Nya :
إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا
“Sesungguhnya Allah senantiasa memperhatikan atas diri kamu semua”. QS.al-Nisa’ (4) :1:
Maka muraqabah di sini bernilai sebagai latihan psikologis (riyadlat al-nafsi) untuk menanamkan keyakinan yang mendalam akan makna firman Allah tersebut.[51]
Adapun tujuan akhir dari ajaran muraqabah ini adalah agar seseorang menjadi seorang muhsin, yang dapat menghambakan diri kepada-Nya “ibadat” dengan penuh kesadaran seolah-olah melihat-Nya, sebagaimana sabda Nabi :
فَأَخْبِرْنِي عَنِ الْإِحْسا نِ قَا لَ أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَا كَ
‘Ihsan
adalah apabila engkau beribadah pada Allah seolah-olah engkau
melihat-Nya, maka jika engkau tidak dapat melihat-Nya maka sesungguhnya
ia melihatmu ‘.H.R. Muslim.[52]
Dalam Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah, muraqabah diyakini sebagai asal semua kebaikan, kebahagiaan dan keberhasilan. Seorang hamba tidak akan sampai pada muraqabah kecuali setelah mampu instrospeksi (muhasabat al-nafsi) dan mampu mengatur waktu dengan baik.[53]
Pada ajaran Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah terdapat 20 macam jenis dan cara muraqabah. Di dalam tarekat induknya (Tarekat Qadiriyah) memiliki 13 macam cara muraqabah.[54] Akan tetapi kalau diperbandingkan dan dianalisis, maka jelaslah bahwa sistem muraqabah yang ada pada Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah, adalah berasal dari tatacara muraqabah yang ada dalam Tarekat Naqsyabandiyah Mujaddidiyah, tarekatnya Syekh Ahmad Faruqi al-Shirhindi.[55]
Ada 13 macam dari 20 macam muraqabah yang ada pada Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah, sama persis dengan muqarabah dalam Tarekat Naqsyabandiyah Mujadiddiyah, sedangkan selebihnya merupakan pendalaman dari jenis-jenis tertentu dari muraqabah tersebut. Hanya ada 3 macam muraqabah yang memiliki kesamaan obyek (tidak sama dalam nama dan tatacara) dengan sistem muraqabah yang ada dalam Tarekat Qadiriyah[56]
Keduapuluh macam muraqabah itu adalah :
a. Muraqabah Ahadiyah
Muraqabah ini adalah kontemplasi atas sifat kemahaesaan Allah. Ajaran muraqabah ini ada dalam Tarekat Qadiriyah dan Tarekat Naqsyabandiyah. Dalam kontemplasi diimajinasikan datangnya al-Fayd al-rahmani (pancaran karunia Allah). Berasal
dari enam arah, yaitu : atas-bawah, muka–belakang, dan kanan kiri.
Sedangakan dalan Tarekat Naqsyabandiyah Mujaddidiyah (NM), muraqabah ini kesadaran dipusatkan dalam lima lathaif secara bertahap, yaitu lathifah al-qalbi,ruhi, sirri, khafi, dan lathifah al-akhfa.
b. Muraqabah Ma’iyyah,
Jenis muqarabah ini ada dalam kedua tarekat induknya (Qadiriyah dan Naqsyabandiyah). Akan tetapi dalam hal tehnis lebih dekat dengan ajaran Muqarabah Ma’iyah adalah kontemplasi akan makna kebersamaan Allah dengan dirinya.
c. Muraqabah Aqrabiyah
Arti dari muqarabah ini adalah memperhatikan
dengan seksama dalam kontemplasi akan makna dan hal kedekatan Allah.
Namanya sama dengan yang ada dalam Tarekat Naqsyabandiyah, sedangkan
filosofinya lebih dekat dengan yang ada dalam Tarekat Qadiriyah.
d. Muraqabah al-mahabbah fi al-dairat al-ula
e. Muraqabah al-mahabbah fi al-dairat al-tsaniyah
f. Muraqabah al-mahabbah fi al-dairat al-qaus
Ketiga jenis muqarabah ini adalah jenis
kontemplasi atas kecintaan kepada Allah pada orang-orang yang beriman
dan kecintaan orang mukmin kepada Allah. Ketiganya merupakan pendalaman,
dan perincian atas muqarabah al-aqrabiyah dan al-mahabbah yang ada dalam Tarekat Naqsyabandiyah.
g. Muraqabah Wilayat al-‘ulya’
Muraqabah jenis ini
hanya ada dalam ajaran Tarekat Naqsyabandiyah. Walaupun menggunakan nama
yang berbeda ( terkadang juga disebut dengan nama yang sama). tetapi
cara dan sasarannya sama. Sedangkan dalam Tarekat Qadiriyah jenis muqarabah ini terlaksana dalam muraqabah yang ketujuh (sama sasaran dan dalilnya),
h. Muraqabah Kamalat al-nubuwwah,
Yaitu muraqabah (kontemplaasi), atas qudrat Allah yang telah menjadikan sifat-sifat kesempurnaan kenabian.
i. Muraqabah Kamalat al-risalat
Adalah kontemplasi atas Allah dzat yang telah menjadikan kesempurnaan sifat kerasulan.
j. Muraqabah Kamalat al-ulul azmi
adalah muqarabah (kontemplasi) atas diri Allah yang telah menjadikan para rasul yang bertitel ulul azmi. Ketiga jenis muraqabah tersebut hanya terdapat dalam ajaran Naqsyabandiyah Mujaddidiyah (NM).
k. Muraqabah al-Mahabbah fi al-dairat al-khullat
Yaitu Muraqabah atas Allah dzat yang telah menjadikan hakikat Nabi Ibrahim sebagai khalillullah.
l. Muraqabah al-Mahabbah fi al-dairat al-Shirfa
Yaitu muraqabah atas Allah yang telah menjadikan hakikat Nabi Musa As. Yang sangat dikasihi, sehingga bertitel kalimullah.
m. Muraqabah al-Dzatiyah al-muntazibal bi al-mahbbah
Yaitu muraqabah kepada Allah, yang telah
menjadikan hakikat Nabi Muhammad yang telah menjadi kekasihnya yang asal
dan dicampur dengan sifat pengasih.
n. Muraqabah al-Mahbubiyah al-Shirfah.
Yaitu muraqabah kepada Allah yang telah menjadikan hakikat Nabi Ahmad yang memiliki sifat pengasih yang mulus. Keempat jenis muraqabah ini (no. k, l, m, dan n) merupakan pendalaman dari muraqabah ulul azmi yang ada dalam Tarekat Naqsyabandiyah al-Mujaddidiyah.
o. Muraqabah Hubb al-Shirf
Yaitu muraqabah kepada Allah yang telah
mengasihi orang-orang mukmin (dengan tulus) yang cinta kepada Allah,
para malaikat, para rasul, para nabi dan wali, cinta pada para ulama’
dan kepada sesama mukmin.
Muraqabah ini dalam Tarekat Naqsyabandiyah di sebut dengan muraqabah al-mahabbah.
p. Muraqabah la-ta’yin
Adalah kontemplasi akan hak Allah yang tidak dapat dinyatakan dzat-Nya, oleh semua makhluk tanpa kecuali. Muraqabah jenis ini tidak terdapat dalan kedua tarekat induknya. Akan tetapi tehnik dan sasaran dari muraqabah ini sudah tercakup di dalam muraqabah ahadiyah pada Tarekat Naqsyabandiyah.
q. Muraqabah hakekat al-ka’bah
Adalah kontemplasi kepada Allah, dzat yang telah menciptakan hakikat ka’bah sebagai kiblatnya orang yang bersujud kepada Allah.
r. Muraqabah haqiqat al-quran
Muraqabah ini adalah
kontemplasi atas Allah yang telah menjadikan hakikat Al-quran yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad, yang merupakan ibadah bagi pembacanya.
s. Muraqabah haqiqat al-Shirfah
Adalah muraqabah atas Allah yang telah mewajibkan kepada para hambanya untuk melakukan shalat, yang terdiri dari beberapa ucapan dan perbuatan.
t. Muraqabah Dairat al-ma’budiyah al-Shirfa
Adalah muraqabah dengan berkontemplasi akan Allah yang memiliki hak untuk disembah semua makhluk-Nya. Keempat jenis muraqabah tesebut (q, r, s, dan t), sama persis dengan muraqabah yang ada dalam Tarekat Naqsyabandiyah Mujadiddiyah.[57]
5. Ajaran-ajaran yang lain
Selain keempat ajaran pokok yang
telah disebutkan terdahulu, masih ada ajaran lain yang bersifat tidak
mengikat. Seperti dzikir anfas, tafakkur dan perilaku serta sikap mental kesufian pada umumnya.[58]
Ke semua ajaran yang bersifat tidak mengikat tersebut kurang menjadi
penekanan dalam tarekat ini. Hal ini terbentuk antara lain karena adanya
keyakinan, bahwa jika seseorang telah melaksanakan keempat ajaran pokok
tersebut, khususnya dzikir dengan baik, maka otomatis apa saja
yang mengarah kepada kedekatan kepada Allah akan terasa mudah dan nikmat
untuk dilaksanakan. Karena ia telah mendapatkan asrar-nya dzikir manisnya iman (halawat al-iman)[59].
a. Dzikr al-Anfas
Dzikir al-anfas adalah dzikir untuk menyebut nama Allah dengan lidah batin (sirri atau khafi) yang disertakan dengan ritme nafas (keluar masuknya nafas pada semua keadaan). Sehingga ia menjadi orang yang menyebut asma Allah dalam semua keadaan (qiyaman, wa qu’udan, wa’ala junubihim). Sedangkan teknik dzikir ini bebas tidak terikat oleh waktu, tempat dan hitungan.
Ajaran tentang dzikir anfas (dzikir
dengan mengikuti ritme nafas) diberikan oleh sebagian mursyid kepada
murid-muridnya sebagai himbauan. Dan himbauan ini khususnya diberikan
kepada murid-muridnya yang telah khatam melaksanakan dzikir latha’if. [60] Dzikir al-anfas merupakan salah satu ajaran inti dalam Tarekat Naqsyabandiyah yang sebelas. Yaitu Husn dar dam, atau sadar sewaktu bernafas. Baik dengan menyebut ism dzat (Allah, Allah, Allah), maupun dengan menyebut kalimat tahlil : la illah illa Allah. [61]
b. Tafakur
Tafakur atau berfikir dalam terminologi
tasawuf adalah bermakna transendental. Ia adalah memikirkan dan
merenungkan makna, hakikat dan hikmat dibalik sesuatu untuk menemukan
keagungan Allah. [62]
Walaupun ajaran tentang tafakur ini tidak begitu ditekankan (tidak
mengikat), akan tetapi ada di antara mursyid tarekat yang mengajarkan
secara lebih mendetail tentang tafakur.[63] Ia membagi tafakur berdasarkan obyek dan sarananya menjadi enam macam yaitu :
1. Tafakkur atas kuasa Allah,
Yaitu memikirkan dan
merenungi kemaha kuasaan Allah yang telah menciptakan keindahan yang
dapat kita saksikan, dan kuasa Allah yang telah menjadikan alam semesta
(tujuh langit, tujuh bumi besera dengan isinya).
2. Tafakkur atas ni’mat dan karunia Allah,
Yaitu
berfikir tentang apa yang diberikan kepada kita oleh Allah yangberupa
ni’mat dan kurunia yang tidak terhitung jumlahnya (karena terlalu
banyak).
3. Tafakkur akan pengetahuan Allah,
Yaitu bertafakkur atas
sifat Allah Yang Maha Mengetahui. Ia adalah dzat yang maha mengetahui
akan segala yang lahir maupun yang batin. Bahwa semua yang dikerjakan
oleh hambaNya, baik yang dilakukan secara fisik maupun yang dilakukan
oleh anggota batin kita (nafs, qalb, ruh, sirr, khafi dan akhfa) diketahui oleh Allah.
4. Tafakkur atas nasib di akhirat,
Yaitu memikirkan tentang ibadah kita di dunia ini dan bagaimana kelak nasib kita di akhirat yang kekal abadi itu.
5. Tafakkur atas sifat kehidupan duniawi,
Yaitu berfikir dan
merenungkan karekteristik kehidupan duniawi yang sangat fanak (temporal)
dan senantiasa mengajak manusia kepada maksiat dan melupakan Allah.
6. Tafakkur atas datangnya kematian yang pasti dan keadaan seseorang yang telah mati. [64]
Tafakkur model pertama adalah tafakkurnya para
ulama’, model tafakkur kedua adalah materi syukur. Sedangkan jenis yang
ketiga sampai yang ke enam adalah tafakurnya para hamba-hamba Allah yang
tulus(‘Abidin)[65].
Sedangkan ajaran yang menyangkut masalah perilaku dan
sifat kesufian yang lain, seperti zuhud, wara’, ikhlas dan sebagainya
merupakan ajaran umum kaum sufi tentang maqamat yang diperoleh dari
buahnya (tsamrah)-nya riyadlat al-nafs dan mujahadah seseorang[66].
Walaupun demikian secara kognitif ajaran ini senantiasa disampaikan
dalam pengajian-pengajian, di samping keteladanan yang diberikan oleh
para mursyid.
Dari analisa ajaran-ajaran yang ada, dapat dipastikan
bahwa ajaran Tarekat Naqsyabandiyah yang dipraktekkan dalam Tarekat
Qadiriyah wa Naqsyabandiyah di Indonesia ini, adalah ajaran-ajaran
Tarekat Naqsyabandiyah Mujaddidiyah, yaitu prinsip ajaran yang
dirumuskan oleh Syekh Ahmad Faruqi al Shirhindi (1542-1625) di India.
Khususnya tentang ajaran dzikir lathaif, fislsafat kejadian manusia dan sistem muraqabahnya.
Kemungkinan besar ajaran tersebut diperoleh Syekh
Ahmad Khatib dari Syekh A. Sa’id (w. 1277/1860-1861 di Madinah) atau
khalifah Syekh A. Sa’id yang ada di Makkah. yaitu M. Jan al-Makki (w.
1266/1850 di Makkah). Karena inilah cabang Tarekat Naqsyabandiyah
Mujaddidiyah yang masih asli. Sedangkan kemungkinan diterimanya ajaran
Tarekat Naqsyabandiyah dari Syekh Sulaiman Zuhdi atau Sulaiman Effendi
(dugaan sementara orang) tidak bisa dipegangi lagi. Karena Tarekat
Naqsyabandiyah yang bermarkas di Jabal Abu Qubais itu jelas cabang
Naqsyabandi Khalidiyah[67]. Tarekat cabang ini mempunyai ajaran yang berbeda, khususnya dalam hal muraqabah[68].
Di samping ajaran-ajaran yang khas tersebut, dalam tarekat ini, ada
sesuatu yang khas yang mewarnai aktifitas di dalamnya yang berupa
upacara-upacara ritual.
[1]Baca misalnya, Muslikh Abdurrahman, al-Futuhat al-Rabbaniyah, op. cit., h. 22-23. Zamroji Saerozi, Al Tadzkirat al-Nafi’ah, op. cit. h. 37
[2]Tidak semua kitab pegangan pengikut tarekat ini memuat ajaran kesempurnaan suluk dan adab al-muridin.
Dua ajaran tersebut biasanya dikaji oleh para pengikut tarekat ini
melalui kitab-kitab yang bibaca oleh para kiyahi dan mursyid. Seperti
kitab, al-Anwar al-Qudsiyah, karya Syekh Abd. Wahab al- Sya’roni, Tanwir al-“Qulub, karya Syekh Amin al-Kurdi dan kitab Kifayat al-Atqiya’ wa Minhaj al-Asfiya’ karya Syekh Abi Bakr al-Makky. Sedangkan dalam masalah dzikir
dan tatacaranya disebutkan dalam semua kitab pegangan para pengikut.
Adapun dalam ajaran muraqabah kebanyakan kitab pegangan tidak
menyebutkan kaifiyatnya, yang disebutkan hanya macam-macam muraqabah
yang ada dalam Tarekat Qadiriyah wa Nagsyabandiyah.
[3]Perlunya keseimbangan antara ketiga hal tersebut diuraiakan dalam Muslikh Aabdurrahman, Risalah Tuntunan Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah, jilid I-II, Kudus : Menara Kudus, 1976), al-Futuhat al-Rabbaniyah, op.cit. , h. 20-21. Abu Bakar al-Makkiy, Kifayat al-Atqiya’ wa Minhaj al-Asfiya’, Surabaya: Sahabat Ilmu, t. th.
[4]Abu Bakar al-Makkiy, op.cit. h. 9. Baca juga dalam Qawaid, Tarekat dan Politik, kasus Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah di Desa Mranggen Demak, Jawa Tengah (Tesis) program Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta : PPS-UI, 1993, h.125.
[5] Abu Bakr al-Makkiy, loc.cit.
[6]Ibid., Penjelasan KH. Zamroji Saerozi, mursyid TQN di Kediri jawa Timur, wawancara tanggal 23 Juli 1996.
[7]Untuk
menguatkan pendapat tentang perlunya ketiga hal tersebut, Muslikh
Abdurrahman mengutip perkataan Imam malik :
من يتفقه ولم يتصوف فقد تفسق ومن يتصوف ولم يتفقه فقد تزندق, ومن تصوف ويتفقه فقد تحقق.
Lihat al-Futuhat al-Rabbaniyah, op. cit. h. 20.
[8]Penjelasan KH. Zamrozi, (wawancara), loc. cit., Baca juga dalam Abu Bakar al-Makkiy. Loc. cit.
[9]Syeh
Abd. Qadir menekankan perlunya keseimbangan antara ketiga dimensi
keislaman. Untuk mengetahui pandangan-pandangannya baca dalam Abd. Qadir
al-Jailnai al-Hasani, al-Ghunya li Thalibi Thariq al-Haq fi al-Akhlaq wa al-Tasawuf wa al-Adab, juz II, t.t: al-Maktabah al-Sya’biyah, t.th. h. 161-152.
[10] Abd. Aziz Dahlan, Tasawuf Sunni dan Tasawuf Falsafi: Tinjauan Filosofis, dalam kumpulan makalah Paramadina, op. cit., h. 125-126.
[11] Nurcholis Madjid, Islam Agama Peradaban: Membangun Makna dan Relevansi Doktrin Islam dalam Sejarah, Jakarta : Paramadina, 1995, h. 113,115.
[12]Ibid.,h. 113. Qawaid, op. cit., h. 108.
[13] “Melacak Jejak Tarekat NU”, dalam Aula ;Majalah Nahdatul Ulama’, op. cit. H. 7.
[14] Ibid., Baca Martin Van Bruisnessen, Tarekat. op. cit. h. 179, Daftar nama Tarekat Mu’tabarah lihat dalam lampiran.
[15] Abd. Wahab Al-Sya’rani, Al-Anwar al-Qudsiyyah fi Ma’rifati Qawaidi al-Shufiyah, Jakarta: Dinamika Berkah Utama. t.th. h. 267.
[16]Ibid., h. 268. Bandingkan dengan Fasal Husnul Khuluq, dalam Abd. Qadir al-Jailani, op. cit., h. 192 – 199.
[17] Annemarie Schimmel, Mystical Dimension of Islam, diterjemahkan oleh S. Djoko Damono, dkk, dengan judul Dimennsi Mistik dalam Islam, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986, h. 104. 242
[18] Zamroji Saeroni, Al-Tadzkirat al-Nafi’ah. Juz I (t.t.), h. 11-12.
[19] Abd. Wahab al-Sya’rani, op. cit., h. 114
[20] Muslikh Abdurrahman, al-Futuhat, op. cit., h. 33-39. Bandingkan dengan Abd. Qadir al-Jailani, op. cit., h. 164 – 168.
[21]Etika atau adab ini tidak hanya berlaku pada ikhwan secara khusus (ikhwan dalam tarekat saja), tetapi juga berlaku untuk etika mu’ asyarah sesama muslim (al-ukhuwah al-Islamiyah).
[22] Muhammad Amin al-Kurdi, Tanwir al-Qulub fi Mu’ammalati ‘allam al-Ghuyub, Beirut: Dar al-Fikr. 1995, h. 462. Penulis tidak menemukan hadis ini dalam kitab-kitab hadis standat.
[23]Abu Abdillah Muhammad ibn Isma’il al-Bukhari, Shahih Bukhari, Juz III, Semarang: Thaha Putra, T.th, h.98.
[24]Uraian dan Penjelasan dari poin-poin tersebut baca dalam ibid. h. 462-466. Bandingkan dengan Muhammad Usman al-Ishaqi, al-Khulashah al-Wafiah, Surabaya; Al-Fitrah, 1994, h. 9-11.
[25] Lebih dari ¼ bagian dari isi kitab Al-Anwar al-qudsiyah berisi tentang adab ini.
[26]Muhammad Usman ibn. Nadi al-Ishaqi, al-Khulashah al-Wafiyah fi al-Adab wa Kaifiyat al-Dzikir Inda Sadat al-Qadiriyah wa Naqsyabandiyah, Surabaya
: al-Fitrah, 1994, h. 9-11. Penjelasn selebihnya dari masing-masing
poin dalam adab kepada diri sendiri ini baca dalam Abd. Wahhab
al-Sya’rani, Al-Anwar al-Qudsiyah. op. cit., h. 35-197.
[27] A. Shahibul Wafa Tajul Arifn, Miftah al- Shudur diterjemahkan oleh Abu Bakar Atjeh dengan judul Kunci Pembuka Dada. Juz I, Sukabumi: Kotamas, t.th. h. 12.
[28]Pernyataan ini didasarkan pada praktek dari spesialisasi yang terjadi di kalangan sahabat Nabi. Baca Zamroji Saeroji, op. cit., h. 26-29, Muslikh Abdurrahman, al-Futuhat, op. cit., h. 9-11.
[29]Istiqamah di
sini adalah konsisten dalam satu bentuk amalan dan aktifitas kehidupan
tertentu yang diniatkan sebagai bentuk pengabdian yang murni (ikhlas),
karena Allah dan untuk Allah. Tetapi yang populer disebut dengan tarekat
dan yang berlaku dalam istilah tasawuf adalah tarekat dzikir, sehingga setiap disebut tarekat, maka yang dimaksudkan di sini adalah tarekat dzikir.
[30]Baca
kitab-kitab tasawuf pada umunya, atau kitab-kitab pegangan pegikut
tarekat ini. misalnya dalam A. Sahibul Wafa Tajul Arifin, Miftah, op. cit., Muslikh Abdurrahman, al-Futuhat. op. cit., h. 22-23.
[31]Dari analisis terhadap 167 ayat dalam Alquran yang mengandung kata dzikir dengan segala bentuk perubahannya, maka didapatkan 45 ayat yang berkaitan dengan kata dzikir yang mengandung makna transendental dan ta’abbudi, Kharisuddin Aqib, penelitian Individual tentang, Konsepsi Dzikir menurut Alquran, Surabaya: Fak.Adab-IAIN Sunan Ampel, 1996, h. 16. Lihat juga Muhammad Fu’ad Abd.Baqi’, Al-Mu’jam al-Mufahras li Al-fazh Alquran al-Karim, Indonesia; Maktabah Dahlan, t.th., h 343-349.
[32]Penjelasan dari KH. Makkay Maksoem, Mursyid Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah di jombang Jatim wawancara, 29 Juli 1996.
[33]Penjelasan KH. Zamroji Saeroni, mursyid Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah di Kediri Jatim, wawancara tanggal 23 Juli 1996.
[34]Muslikh Abdurrahman, al-Futuhat, op.cit., h. 29, di takhrij oleh Abi Isa Muhammad Ibn Isa Ibn Saurah al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi, juz. V.Beirut: Dar al-Fikr, 1980, 127-128.
[35]Zamroji Saeroni, op.cit., h. 72, Lihat juga Zakiyuddin Abd. ‘Azhim Ibn Abd. Qawiy al-Munzhiri, Al-Targhib wa al-Tarhib min al-Hadits al-Syarif, juz II, Beirut: Dar al-Fikr, 1988, h. 396.
[36]A. Shahibul Waf Tajul Arifin, Miftah, op. cit., h. 31, ditakhrij oleh Abi Isa Muhammad Ibn Isa Saurah al-Tirmidzi, op.cit., h. 142.
[37]Penjelasan
KH. Makky Maksoem, mursyid Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah di
Jombang - Jawa Timur, wawancara, Jombang: 29 Juli 1996.
[38]Annimarie Schimmel, op.cit., h. 173-174.
[39]Penjelasan KH, Zamroji Saeroni, mursyid Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah di Kediri jatim, wawancara tanggal 17 Februari 1996.
[40]Jalaluddin (syekh), Sinar Keemasan, jilid I, Ujungpandang: PPTI, 1987, h. 200.
[41]Baca Kitab-kitab pegangan murid TQN, misalnya A. Shahibul Wafa Tajul Arifin, U’qud al-Juman Tanbih, Jakarta: Yayasan Serba Bakti Pondok Pesantren Suryalaya, 1975, h. 45, lihat juga silsilah terlampir.
[42]Jalalluddin (syekh), Sinar keemasan, jilid II, Ujung Pandang : PPTI, 1987, h. 183-184. Baca Annimarie Schimmel, op. cit., h. 174.
[43]Jalaluddin, ibid., h. 60-73.
[44]Praktek dzikir nafi itsbat dimaksudkan untuk membersihkan pusat-pusat pengendalian jiwa sekaligus. Sedangkan dzikir ism dzat dipraktekkan
untuk membersihkan jiwa dengan penekanan pada pusat tertentu. Baca pada
pembahasan dzikir Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah.
[45]Dikutip dari M. Ramli Tamim, Tsamrat al-Fikriyah, Risalat fi Silsilati al-Thariqatain Ahli tarekat al-Qadiriyah wa Naqsyabandiyah , Jombang Jatim: T.T, h. 36.Hadis yang diriwayatkaan oleh al-Thabrani ini, menurut penelitian al-Suyuthi berkualitas shahih,Jalaluddin Abd al-Rahman al-Suyuthi, al-Jami’ al-Shaghir,Juz II, Surabaya: Dar al_Nasyr al_Misriyah, T.th, h.166.
[46]A. Shahibul Wafa Tajul Arifin, Miftah op. cit., h. 13. Lihat dalam Ahmad ibn Hambal, Musnad al-Imam Ibn Hambal, juz III, Beirut: al-Maktab al-Islami, t.th. h. 142.
[47]Zamroji Saeroni, op. cit., h. 75. Zakiyuddin Abd. Al-Azhim al-Munziri, op. cit., h. 412.
[48]Ibid., h. 73
[49]Ahmad Warson Munawwir, Kamus Arab Indonesia, Yogyakarta: P.P. Al-Munawir, 1984, h. 557.
[50]Muslikh Abdurrahman, ‘Umdat al-Salik fi Khairi al-Masalik ,Poerworejo: Syirkat al-Tijarah fi Ma’had Berjan, t.th. h. 87.
[51]Ibid., Bandingkan dengan Sayyid Abd. Aziz al-Darini, Thaharat al-Qulub wa al-Hudlu li Allami al-Ghuyub, Jeddah: al-Haramain, t.th. h. 225.
[52]Muslikh Abdurrahman, ‘Umdat, op. cit., h. 88. Abi al-Husain Muslim ibn al-Hajjaj, op.cit., h. 28.
[53]Ibid. Menurut Sayyid al-Darimi, Muraqabah merupakan pangkal yang tersebar di antara pangkalnya taqwa, karena Muraqabah adalah
pengetahuan bahwa Allah mendengar, melihat, dan mengetahui. Dan apabila
pengetahuan ini telah sampai dan menggores di dalam hati maka seseorang
tidak akan tertimpa kelupaan pada Allah. Sehingga buahnya adalah rasa
malu, segan, dan mengagunggkan kepada tuhan. Abd. Aziz al-Darimi, loc. cit.
[54]Baca Mir Valiuddin, contemplative Disciplines in Sufism, diterjemahkan oleh MS. Nasrullah dengan judul Zikir dan Kontemplasi dalam Tasawuf ,Bandung: Pustaka hidayah, 1996, h. 202, 210-249.
[55]Ahmad
Faruqi al-Shirhindi, adalah seorang sufi besar. Ia adalah syekh dalam
Tarekat Naqsyabandiyah di India, wafat 1034 H./1624 M. di Delhi. Dia
dianggap sebagai seorang mejaddid dalam Islam (mujaddid alf tsani),
pembaharu Islam milinium kedua. Ia telah berhasil menegakkan syari’at
dari pengaruh filsafat wujudiyahnya ibn Arabiy dengan merumuskan filsaat
itsnaniyah (dualisme) yang merupakan landasan atas paham wahdat al-syuhud. Baca ibid., h. 139-141.M. Abdul Haq Anshari, Sufism and Syari’ah: a Study of Syaikh Ahmad Syirhindi’s Effort to Reform Sufism, diterjemahkan oleh Ahmad Nasir Budiman dengan judul Antara Sufisme dan Syari’ah, Jakarta: Raja Grafindo Perada, 1993, h. 1-35.
[56]Lihat dalam bagan perbandingan antara tiga sistem muraqabah. (lampiran).
[57]Tentang 20 jenis muraqabah tersebut dapat dibaca pada Musilkh Abdurrahman, al-Futuhat, op. cit., h. 52-63., Umdat al-Salik, op.cit., h. 4-37. M. Romli Tamim, op. cit., h. 11-23. Sebagai bahan perbandigan adalah muraqabah yang ada pada Tarekat naqsyabandiyah Khalidiyah diambil dari Jalaluddin, Sinar Keemasan, jilid II, op. cit.,
[58]Prilaku dan sikap mental kesufian pada umumnya misalnya zuhud, wara’, iklas, ridha, dan husn al-khulq.
[59]Penjelasan
KH. M. Ali Hanafiah, sesepuh Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah
Tasikmalaya Korwil Jatim. Wawancara Surabaya, 3 Agustus 1996.
[60]Muslikh Abdurraman, al-Futuhat, op.cit. h. 65.
[61] A. Fuad Said, Hakikat Tarekat Naqsyabandiyah, Jakarta: Pustaka al-Husna, 1994, h. 47.
[62] Ali ibn Muhammad al-Jurjani, Kitab al-Ta’rifat, Beirut : Dar al- Kutub al-Ilmiyah, 1998, h. 69.
[63]KH. Zamroji Saerozi, mursyid TQN di Pare Kediri Jawa Timur.
[64] Zamroji Saerozi, al-Tazkirat al Nafi’at, jilid I, op. cit. , h. 63-68.
[65]Abd. Aziz al-Daraini, op. cit . , h. 31.
[66]Inilah sebabnya seseorang sangat berat untuk dapat menjadi sufi tanpa melalui tarekat dzikir yang mu’tabar. Walaupun dalam tarekat terdapat tiga metode mistik sebagaimana umunya faham Gnotisme di dunia barat. Yaitu purgative, contemplative dan illuminative. Secara jelas terekat menekankan pada metode atau viacontemplative karena dengan via ini, prinsipnya purgative
atau amaliah kesufian (yang pada umumnya berat) akan otomatis dapat
dilakukan dengan mudah karena asrarnya dzikir dan muraqabah orang awam
pun bisa mengamalkan, apalagi orang khawas.
[67] Martin Van Bruinessen, Tarekat Qadiriyah, .op. cit. h. 72-73.
[68]Dalam
tarekat cabang Khalidiyah macam muraqabah-nya hanya ada enam macam. Dua
diantaranya sama dengan yang ada pada Tarekat Qadiriyah wa
Naqsyabandiyah. Lihat Jalaluddin (Syekh), Sinar Keemasan, jilid II, op.cit. h. 19-41.
Sumber:
http://www.metafisika-center.org/2012/06/beberapa-ajaran-tarekat-qadiriyah-wa_06.html?m=1
0 Komentar