Dengan nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
Syeikh Abul Oasim al-Junaid bin Muhammad – rahimahullah — berkata :
“Semoga Allah mengkhususkan dirimu untuk taat kepada-Nya; memberi
peluang kepadamu untuk selaras dengan-Nya; menjadikanmu sebagai penghuni
kewalian-Nya; memilihmu untuk mahabbah cinta-Nya; mengegaskan dirimu
untuk menuju kepada-Nya; menetapkan padamu menurut ilmu kehendak-Nya;
menjadikan perbuatanmu dengan ilmu yang dikehendaki-Nya; mengembalikan
dirimu untuk memperhatikan pada kesimpulan pemahaman tentang Diri-Nya;
menghalangi antara dirimu dengan berbagai halangan yang memenggal dan
rantai yang merintang; menjadikan ucapan-ucapanmu diridhai di
hadapan-Nya dan di sisi-Nya pula engkau dalam keadaan bersih;
mencukupkan dirimu upah setiap yang sibuk dengan-Nya; memberi luang
kepadamu untuk bakti kepada-Nya; menyenangkan dirimu dengan memasrahkan
persoalan kepada-Nya; menghalangi antara dirimu dari setiap pencegah di
jalan penempuhan kepada-Nya; dan menjadikan raja penolong pada setiap
hasratmu yang membuatmu tidak bahagia dalam Menempuh ridha-Nya di
sisi-Nya, sesungguhnya Dia adalah Pelimpah kenikmatan dan yang Mencukupi
berbagai hasrat kepentingan.
Seyogyanya bagi orang yang berakal (sehat) untuk tidak mengabaikan salah satu dari tempat ini:
Tempat dimana seseorang apakah kondisi ruhaninya bertambah atau berkurang;
Tempat dimana ia berkhalwat dengan mendidik dirinya, berdisiplinlah
pada aturan yang harus dilakukannya (dan mendalami penyelidikan
pengetahuannya);
Tempat dimana akalnya dihadirkan untuk memandang aturan-Nya;
bagaimana aturan-aturan bisa berbeda-beda; baik disaat telah malam mupun
disiang hari. Akal tidak bisa jernih manakala tidak mampu kondisi
terakhir tersebut, kecuali dengan menepati aturan yang seharusnya
dilakukan dari aturan-aturan pada kedua kondisi ruhani yang pertama.
Sementara tempat-tempat dimana ia harus mengenal kondisi ruhaninya,
apakah bertambah atau berkurang, ia harus melakukan khalwat agar tidak
direpotkan oleh gangguan kesibukan yang merusak introspeksinya; yang
kelak bisa dilanjutkan dengan arah menuju penyelarasan disiplin
penunaian kewajiban, dimana perilaku taqarrubnya tidak akan jernih
kecuali dengan memenuhi kewajiban-kewajiban fardhu. Kemudian bangkit,
sebagaimana bangkitnya hamba di hadapan Tuhannya yang ingin melaksanakan
perintah-Nya. Maka pada saat demikian, terbukalah baginya
rahasia-rahasia dirinya yang tersembunyi. Ia akan tahu apakah ia
termasuk orang yang telah menunaikan kewajiban atau belum, kemudian ia
tidak ragu dengan posisinya hingga adanya bukti ilmu yang menyibaknya.
Apabila ia melihat adanya cacat, segera memperbaikinya, dan tidak
menjalankan amal selain amal itu. Perilaku demikian ini merupakan
kondisi ahli shidq. “Dan Allah mengokohkan melalui pertolongan-Nya
kepada orang yang dikehendaki-Nya, sesungguhnya Allah Maha Kuat lagi
Perkasa.”
Sedangkan tempat-tempat khalwat untuk mendidik diri dan mendalam
kondisi pengetahuannya, maka seharusnya bagi yang menuju arah ini, dan
ingin mendapatkan nasihat dalam beramal — maka kadang-kadang berbagai
hal itu menipu dirinya — dimana batas sebenarnya tidak diketahui kecuali
oleh orang yang teliti mata hatinya. Apa sebenarnya yang terjadi di
sana, berupa dorongan mencintai perbuatan baik.
Sebab diri itu bila cenderung untuk berbuat baik, akan menjadi
etika pada dirinya, dan diri tenteram pada tempat yang menjadi
keahliannya, sekaligus ia akan membelot dengannya. Diri melihat yang
berlaku padanya, berupa tindakan kebaikan tersebut sebagai kemampuannya,
kemudian musuh yang mendiami. mengintai untuk menghancurkannya,
mengalir melalui tempat berjalannya darah. Musuh itu mengancam dengan
kekuatan tipu dayanya pada kealpaan yang tersembunyi, lalu ia
merampasnya melalui kecondongan hawa nafsu, yang tak ada lagi jalan
kecuali melalui kondisi tersebut, bila ia tidak merasakan rampasannya,
ia mendorong dari dirinya dan mengenal dirinya untuk lebih bergegas
kembali kepada Dzat yang tidak bisa menjamin kecuali dengan-Nya.
Kemudian ia meneliti dirinya lebih mendalam seketika dimana musuh bisa
meraihnya. Lalu ia menjaganya dengan kenikmatan bersegera, mencari
pertolongan dan rasa butuh yang sangat serta mencari sandaran,
sebagaimana Nabi yang mulia, putra Nabi yang mulia, Yusuf bin Ya’qub bin
Ibrahim –alaihim as-salam:”Dan jika tidak Engkau hindarkan dari padaku
tipu daya mereka, tentu aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan
mereka) dan tentulah aku termasuk orang-orang yang bodoh.” (Q.s. Yusuf:
33).
Yusuf as, mengetahui bahwa tipu daya musuh dengan kekuatan hawa
nafsu, tidak akan bisa dihindari dengan kekuatan diri.”Maka Tuhannya
memperkenankan doa Yusuf, dan Dia menghindarkan Yusuf dari tipu daya
mereka. Sesunggahnya Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
(Q.s. Yusuf: 34).
Adapun tempat-tempat yang menjadi tempat presentasi akalnya untuk
memandang tempat berlakunya aturan hukum, dan bagaimana Dia membalik
aturan, adalah tempat paling utama dan paling luhur. Sebab Allah swt.
memerintahkan seluruh makhluk-Nya agar terus-menerus beribadah dan tidak
bosan-bosan berbakti kepada-Nya. Firman-Nya:”Dan Aku tidak menciptakan
jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku.” (Q.s.
Adz-Dzaariyaat: 56).
Dan para hamba itu mendapatkan jaminan di dunia, sementara di
akhirat mendapatkan pahala. Allah swt. berfirman:”Wahai orang-orang yang
beriman, ruku’lah, dan sujudlah, serta sembahlah Tuhanmu, dan
berbuatlah kebaikan agar kamu mendapatkan kebahagiaan.” (Q.s. Al-Hajj:
77).
Semua itu merupakan ibadah yang diharuskan kepada semua makhluk,
dan Dia menetapkan agar diketahui bagaimana aturan-aturan itu
dilaksanakan. Allah swt. juga memaparkan keluhuran ilmu dan pengetahuan.
Dia berfirman, “Setiap hari Dia dengan urusan.” (Q.s. Ar-Rahman: 29).
Yakni urusan makhluk.
Engkau — wahai orang yang berdiri teguh — agar selalu melihat bahwa
dirimu merupakan makhluk dengan urusannya. Apakah engkau mengetahui
perilakumu itu diridhai di sisi-Nya? Tak seorang pun mampu menghadirkan
akalnya kecuali dengan memalingkan diri dari dunia dan seisinya (di
sisi-Nya), keluar dari arah-Nya. Apabila dunia usai, hangus, dan hangus
pula penghuninya, berpaling dari hati, maka menjadi sunyi dengan
bercakap-cakap pada pelaksanaan dan beragamnya aturan serta rincian
pembagian. Hati tidak akan kembali, pada suatu yang sifatnya mengambil
manfaat dari dunia ini yang mana, hati telah keluar dan lari dari dunia.
Tidakkah engkau melihat ketika Haritsah berkata, “Diriku telah jemu
dari dunia.” Kemudian ia melanjutkan, “Seakan aku melihat Arasy Tuhanku
begitu jelas. Seakan-akan aku saling mengunjungi antara ahli surga,
seakan-akan, seakan…” Demikianlah kondisi sebagian kaum Sufi.
Oleh sebab itu, wahai saudaraku, berhasratlah beramal untuk
menyelamatkan dirimu, keikhlasan pembebasan diri dari perbudakan nafsu
yang hina, dan menyelamatkan diri dari bercakap-cakap pada penghuni
dunia. Setiap jiwa yang merasakan lalainya kealpaan setetes saja, pasti
akan ditimpa kekerasan hati yang memabukkan akal dan menghanguskan
pengetahuan, fitnah akan masuk dengan cara yang halus. Siapa yang
membuka tutup bencana, akan terbuka pula tutup kandungan. Ia tidak akan
menikmati sepoi-sepoi lezatnya beramal.
Sungguh bahagia kaum yang memandang mereka, mengikuti mereka dan
menunjukkan mereka jalan yang ringkas. Mendudukkan mereka pada
argumentasi yang menyelamatkan, memberi cahaya dakwah mereka untuk
memahami yang tersembunyi, melalui diskusi pemahaman perintah, ketika
Allah swt. berfirman:”Bergegaslah kamu menuju ampunan dari Tuhanmu, dan
surga yang luasnya seluas langit dan bagi yang disediakan bagi
orang-orang yang takwa.” (Q.s. Ali Imran: 133).
Kemudian akal bangkit yang disertai semangat fisik dengan
pengarahan yang baik, untuk menegakkan apa yang menjadi bagian mereka di
hadapan orang yang peduli pada ajakannya, dan mata menjadi sejuk dan
gembira karena apa yang telah disampaikan kepada mereka melalui khalwat.
Maka ia pun berkhalwat bersama mereka yang tidak senang menempuh jalan
selain jalan-Nya, tidak ber-tawassul kepada-Nya kecuali dengan-Nya, dan
mereka tidak meminta sesuatu kecuali agar dilangsungkan khidmah
kepada-Nya, pertolongan yang baik dalam berselaras dengan-Nya. Para
musuh putus asa dengan mereka, wibawa hawa nafsu telah mati di hadapan
mereka, sedangkan mata cinta menyejukkan mereka. Mereka tidak ingin
meraih apa-apa yang lebih besar dibanding apa yang diraihnya, tidak
ingin memperoleh nikmat dibanding apa yang telah dianugerahkan kepada
mereka, tidak pula menginginkan daya. Mereka dijernihkan oleh ilmu, dan
muamalah (ibadah) telah mendidik mereka, sementara mereka dimuliakan
oleh sikap memastikan hanya kepada Allah Ta’ala dan mereka tidak
membutuhkan selain kepada-Nya. Mereka adalah para yang dicari Allah dan
pencari-Nya; pecinta Allah dan kekasih-kekasih-Nya. Orang-orang
berhasrat rindu memandang mereka, dan merasa rugi berpisah dengan
mereka, dan amat gembira bisa berbicara dengan mereka. Allah menghendaki
mereka dan mereka pun menghendaki-Nya, mereka mencari Allah dan mereka
pun menemukan-Nya.Maka,
barangsiapa ingin selamat, bergegaslah meraih ruh kehidupan, dengan
mencari hubungan pada anugerah-Nya. Karena sesungguhnya Allah itu adalah
harapan para wali, cita-cita para cendekiawan, yang dicari orang-orang
Sufi. Kalau bukan karena-Nya, mereka pun tak akan mendapatkan petunjuk
menuju kepada-Nya.
Siapa yang — Allah –menyebut mereka, Allah akan menunjukkan
kepada-Nya. Petunjuk itu tidak menghimpit hati mereka, dan Allah tidak
memberi beban yang tidak kuat untuk dilakukan oleh mereka yang lain,
bahkan Allah tidak menjauhi mereka dan tidak menyingkirkan jiwa-jiwa
mereka. Allah tidak menyiksa mereka atas kelalaian mereka. Bahkan
memberi nikmat mereka melalui penerimaan udzur ketika menerima mereka,
memaafkan atas ketidakmampuan fisik mereka, dan mendudukkan mereka
dengan persahabatan yang indah. Memperkuat komitmen mereka dengan
tradisi generasi ummat-ummat terdahulu dengan beban yang baik.
Membersihkan mereka dari azab yang dahsyat, memberi petunjuk mereka
jalan syukur dan ridha di sisi-Nya, mengasihi antara mereka dan para
pengamat keserupaan dan problema. Allah menjaga hati, mata dan
pendengaran mereka dari mendekat pada kebinasaan. Dan mereka pun menjaga
diri dari membincangkan sesuatu dari kebinasaan; Sesuatu yang merusak,
dan tragedi dunia menjadi sesuatu yang hina di mata mereka. Mereka
merasa senang atas pilihan yang diberikan Wali mereka. Taqarrub mereka
adalah penyucian, tasbih, pambagusan, dan tahlil. Rasa senang dan sejuk
mereka ada pada ketika mereka bermunajat. Tak ada yang menghalangi
mereka ketika Mereka bertemu dengan-Nya di akhirat.
Bahwasanya, makhluk itu terputus dari Allah Azza wa Jalla, karena
mereka mengikuti hawa nafsu, patuh pada lawan-lawannya, membincangkan
bunga-bunga dunia, memprioritas apa yang menghancurkan dan meninggalkan
apa yang mengabadikan.Karena itu bergegaslah saudaraku, untuk
memperbaiki kesalahan umur yang berlalu, kealpaan dan penyimpangan serta
kelambatan, dalam, rangka menjaga sisa usiamu dengan cara bangkit,
takut, tekun, waspada sebelum waktu berlalu, datangnya maut. Sebab Allah
tidak ridha kepada generasi sesudahnya kecuali beramal sebagaimana amal
yang diridhai pada generasi sebelumnya. Karena itu leluaskanlah dirimu
dalam pembebasan belenggu dengan menanggalkan pakaian yang merepotkan.
Sebab suatu hari Allah swt. akan membuka segala aib, pada hari itu
amal-amal ditampakkan. Hari, dimana seorang saksi atau teman, tidak bisa
menolong dengan amalnya, dan tak seorang pun mengharapkan, kecuali pada
pengampunan dan maaf dari Tuhannya. Suatu hari, yang begitu banyak
penyesalannya, begitu kuat caciannya.
Mulai saat ini, semampang permintaan maaf diterima dan waktu masih
luang, amal masih terbentang, tobat masih diterima, dosa bisa dihapus
oleh inabah, penyesalan dan kata-kata masih didengar, kebajikan masih
diikuti, kebenaran masih jelas, jalan begitu gamblang, dan hujjah masih
kokoh.Hujjah yang benar itu hanya bagi Allah, seandainya Dia
menghendaki, niscaya Dia memberi petunjuk kepadamu semua. Sedangkan
pengaruh kehendak hidayah itu sangat jelas di mata orang yang
mendapatkan hidayah. Di antara tanda orang yang mendapatkan hidayah
adalah memiliki sifat-sifat, antara lain ringan taat, “Cinta
penyelarasan dengan-Nya, melihat diri sendiri dengan mata hina,
memutuskan diri untuk menegakkan kewajiban, kasih sayang, persaudaraan,
penyucian, saling mencintai, saling menolong, memprioritaskan kepada
ahli taqarrub dan mereka yang menuju Dzat Allah Azza wa Jalla dibanding
diri mereka sendiri, memberi bantuan kepada ahli kewalian, bergerak
menjauhi perkara yang diharamkan Allah, ridha yang disertai sabar atas
persoalan yang berlalu, merasa ringan dan ringan dalam memberi upah,
teliti, detil serta hati-hati, dan menghargai waktu. Berpijak pada sikap
yang ala kadarnya dalam memberikan kegembiraan kepada orang lain,
bergaul dan duduk bersama mereka. Tidak mengungul-ungulkan mereka, yang
dalam konteks ini, Allah berwasiat kepada Nabiyullah saw.:”Dan janganlah
kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan
kehidupan dunia ini.” (Q.s. Al-khafi :28)
Semoga Allah menjadikan kami dan kalian tergolong orang yang
mengetahui Hak Allah dan mengamalkannya. Sibuk dengan Hak Allah dan
tidak disibukkan oleh faktor yang mengabaikan Hak Allah itu. Semoga
Allah melindungi kami dan engkau, sepanjang perlindungan-Nya kepada kita
serta memperbagus pertolongan-Nya kepada kita. Hendaknya engkau
benar-benar menunaikan syukur dan melanggengkan dzikir. Dia-lah Pelimpah
Kebajikan, Yang Menjanjikan surga bagi hamba-Nya, dan Mengancam mereka
dengan neraka,Kitab ini selesai seiring dengan memuji Allah dan
anugerah-Nya. Semoga shalawat dan salamnya terlimpah kepada junjungan
kita Muhammad dan seluruh keluarganya.
Sumber: tarekatqodiriyah
0 Komentar